GATES Session 3: Moments, Words, and Promises

HARI 1: Sabtu, 23 Februari 2013.

Saya masih mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) antara BEM dan BPM GAMA FIB 2012 di gedung B303 ketika melihat teman-teman dari Sastra Inggris (Sasing) angkatan 2012 sudah berkumpul di depan perpustakaan Sasing. Dengan masih menggunakan almameter UNPAD berwarna biru tua itu, saya memutuskan untuk turun menemui teman-teman untuk sekadar mengucapkan selamat jalan dan sampai bertemu di ‘medan pertempuran’. Beberapa mereka nampak bosan (karena masih harus menunggu yang lain yang belum hadir), dan beberapa tampak bersemangat (dengan alasan yang bermacam-macam). Beberapa jam sebelumnya, saya berangkat ke kos Lukman, teman satu distrik GATES, untuk mengambil barang-barang dan keperluan yang harus saya bawa untuk mengikuti acara mabim (masa bimbingan) Sasing sesi terakhir ini. Acaranya diselenggarakan di kaki Gunung Manglayang, Sumedang. Saya sedih ketika harus mengetahui bahwa teman-teman yang lain harus mendaki lembah dan jalur yang terjal menuju lokasi. Akhirnya, setelah Rakor berakhir (sekitar ba’da ashar), saya berangkat menuju Gunung Manglayang, dan menuju ‘medan pertempuran.’

Bersama Bang Ridwan Emen, begitu para senior menyebutnya, atau Muhammad Ridwan, saya berangkat menuju lokasi. Dari gerbang masuk Kiara Payung, kami menanjak lembah gunung itu selama hampir 45 menit. Sesampainya di lokasi, dada saya sulit menampung cukup udara untuk bernapas. Namun, semuanya terasa lega ketika berkumpul dan bertemu dengan teman-teman. Karena telat, akhirnya saya harus (mau tidak mau) ‘dikirim’ ke tenda yang masih kosong atau masih bisa menampung satu orang lagi. Saya pun ditempatkan di satu tenda dengan Nata, Eldo, Didu, dan Shu (atau begitu teman-tema lain memanggilnya). Tiba-tiba, ketika saya baru mencoba untuk beristirahat, sebuah komando berupa suara keras yang dikeluarkan dari toa menggelegar di seluruh lahan kemah.

The Tributes! Gunakan baju hitam kalian! Kita akan bermain The Hunger Games!”, begitu teriaknya. Setelah shalat Isya, saya bergegas mengganti baju saya yang sudah berkeringat (karena mendaki gunung dengan berjalan kaki) dengan baju hitam polos. Saya berkumpul dan membentuk barisan dengan distrik saya, distrik 4, yang suddah dicampur dengan distrik 14 dengan anggotanya Lukman, Adit, Bella, Uffah, April, dan Bunga.

Lalu, The Hunger Games pun dimulai.

Hanya dalam hitungan menit-menit pertama, tim kami kalah pertama: lilin kami ditendang lawan, sehingga nyawa kelompok mati: kami mati. Dan tidak bisa melanjutkan permainan. Kelompok 6-lah yang menang: kelompok dengan satu anggotanya yang menendang lilin kami.

Tak ada hukuman bagi kami, syukurnya. Namun, dalam keadaan gelap dan dengan baju hitam yang kami kenakan, membuat suasana game menjadi semakin tegang dan tentu tak terlupakan, terutama bagi saya pribadi. Seselesainya, setelah panitia mengumumkan pemenang The Hunger Games, tibalah sesi sharing.

Kami ber-empat-puluh-dua didudukkan di tengah-tengah arena. Lalu, senior mengomandokan untuk membagi empat puluh dua orang ini menjadi dua bagian: satu bagian berarti terdiri atas dua puluh satu orang. Saya masuk ke bagian kedua.

The Tributes,” kata seorang senior itu, “jika kalian perhatikan di sekitar camp kalian sudah tidak ada panitia lagi.” Dan benar, hanya kami ber-empat-puluh-dua dan kakak-kakak yang sedang berbicara di depan kami yang ada di arena malam itu. “Kita akan masuk sesi sharing,” tambahnya. Kak Patrice yang memimpin sesi ini. Saya adalah orang pertama yang bersedia untuk bercerita. Pertanyaan yang diajukan adalah “siapa orang yang menginspirasi kalian di hidup ini? Dan mengapa harus dia? Apa yang membuatnya begitu spesial?” Kami membuat lingkaran kecil dengan lilin redup-redup ditiup angin Lembah Manglayang yang dingin. Tiba-tiba semuanya terasa hangat.

Setelah Kak Patrice mengulang pertanyaannya beberapa kali karena tidak ada satupun yang berani mengutarakan isi hatinya, saya akhirnya mencoba untuk berani. Tentang Bapak, kejadian saat umur saya 7 tahun, adegan di kamar mandi itu, dan ungkapan penyesalan dari Bapak. Empat hal yang begitu mengubah cara pandang saya tentang seorang laki-laki yang hidup dan tumbuh dengan kata ‘disiplin’, yang kuat tertanam dalam otaknya dan tak pernah lesap dari prinsip hidupnya: Bapak saya. Saya bercerita tentang beberapa hal, hingga tanpa terasa air mata saya jatuh berbulir-bulir, meninggalkan kesan mendalam dan begitu berarti bagi seorang anak seperti saya untuk memiliki seorang bapak yang begitu inspiratif dan heroik dalam hidup saya. Sungguh heroik. Selama bercerita, saya beberapa kali  menunduk karena dalam waktu yang bersamaan harus mencari padanan kata-kata yang sesuai dengan ekspresi yang sedang saya tunjukkan, akhirnya setelah saya mendongak dan melihat teman-teman yang sedang (atau mungkin) mendengarkan saya, juga ada yang meneteskan air mata. Pada saat yang sama, saya mencoba untuk “membuka” mata teman-teman bahwa apapun yang terjadi adalah sebuah hikmah terselubung yang pasti sudah Allah rencanakan. Entah itu kebahagiaan, cobaan, kekecewaan, atau kemenangan adalah semua hal yang harus disyukuri. Terlepas dari apapun bentuknya. Semuanya milik Allah, dan berasal dari-Nya.

Setelah sesi sharing berakhir, saya bergegas untuk tidur sebisa mungkin. meskipun tendanya tidak begitu besar dan spasial, kami berlima mencoba untuk ‘tidur sarden’: dempet-dempetan. Tidur dalam sebuah tenda kecil dengan lima orang yang tubuhnya gempal-gempal membuat saya tercenung: betapa beruntungnya saya untuk masih bisa tidur di kasur empuk di kamar saya di Tangerang sana. Bagaimana rasanya anak-anak jalanan yang bahkan tidak memiliki ruangan untuk tidur? Subhanallah. Begitu banyak yang harus saya syukuri. Tanpa keluh kesah lebih panjang, saya coba tutup mata saya perlahan-lahan sambil mengucap Alhamdulillaah.

HARI 2: Minggu, 24 Februari 2013.

Rasanya baru sekitar 10 menit saya terhenyak dalam relung-relung mimpi, tiba-tiba sebuah komando menggelegar, “The Tributes! Keluar dan berkumpul di tengah-tengah arena dalam hitungan lima menit!” Saya dan kawan-kawan satu tenda bergegas merapikan diri dan akhirnya keluar dengan jaket super tebal karena malam itu jam menunjukkan pukul 01.22. Lewat tengah malam. Dan udara di Gunung Manglayang saat tengah malam seperti…entahlah. Sulit dijabarkan. Dingin dan remuk. Dingin yang membegitu.

Kami keluar dari tenda dan berbaris, seperti biasa, di tengah arena kamp.

“Malam ini,” kata suara itu, “kita akan Jurit Malam!”

Sudah kuduga.

Saya dan distrik saya digiring oleh beberapa haymitch, penjaga kelompok, menuju pos-pos yang sudah siap di tempatnya. Kami harus berjuang melawan track yang licin dan terjal menuju masing-masing pos. Tidak hanya itu, kami juga harus melawan udara dingin dan hembusan-hembusan angin yang bertiup lekat-lekat ke dalam tulang-tulang kami. Subhanallah. Mulai dari pos 4, Shape the Rope. Berlanjut ke pos 5, Spoil Your Tummy. Totalnya ada 7 pos. Tiga diantaranya ada pos listening, debating, dan sharing. Masing-masing posnya memiliki esensi yang begitu dalam, khususnya dalam dunia kepemimpinan dan kepribadian. Pos-pos pembentuk karakter seorang pemimpin sejati.

***

                Pagi pun menjelang.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi, tapi matahari masih enggan untuk menyingkapkan tabirnya. Seperti biasa, saya tak pernah tak mau untuk menikmati sedikit nikmat Allah yang sungguh luar biasa ini: pagi hari. Dalam keadaan masih bisa menghembuskan napas dengan lancar, dan mata melihat segalanya dengan jernih, saya pun bergegas shalat subuh. Ini adalah sebuah pengalaman berharga yang tak akan pernah bisa saya lupakan: shalat di alam lepas. Di bawah bayang-bayang awan yang bergerak cepat, dalam kondisi redup, dalam hembusan dini, saya gelar matras yang saya bawa, lalu bersujud mensyukuri indahnya situasi pagi itu. Selepas shalat, puncak Gunung Manglayang mulai memperlihatkan keajaibannya. Saya mulai bisa melihat pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi di sekitar kamp. Lafas tasbih, tahmid, dan takbir tak henti-hentinya keluar dari bibir saya yang membiru.

Sekitar pukul 8 pagi, kami ber-empat-puluh-dua, The Tributes, didudukkan di tengah-tengah arena kamp. Ditemani rintik-rintik gerimis halus, dan dengan suasana yang agak tegang. Karena setelah kami semua duduk tenang, kami mulai merasa di sekeliling kami banyak senior-senior yang memerhatikan kami dengan cara yang sulit digambarkan. Dan itu agak mengerikan. Gerimis pun mulai menderas. Setelah kami diijinkan untuk menggunakan ponco, atau jas hujan, kami disuruh duduk dan tertib kembali. Seorang senior perempuan, akhirnya melangkah maju.

The Tributes,” katanya, “Pagi ini saya akan mengadakan forum terbuka!”

Kami mulai bertanya-tanya dengan tatapan aneh dan dahi yang mengerut. Forum macam apa yang akan diadakan ditengah-tengah gunung seperti ini? Dalam keadaan dan kondisi yang sangat tidak memungkinkan untuk berpikir jernih dan berbicara, bahkan membuka mulut? Saya mulai menggigil dan menggertakkan gigi secara berkelanjutan selama saya duduk disitu.

“Forum ini akan berisi pertanyaan atau topik yang akan dibahas. Dan peserta forum terbuka ini adalah semua partisipan GATES Session 3!”

Beberapa menit berselang, saya akhirnya menyerah. Saya minta ijin untuk dipisahkan dari teman-teman yang lain karena tidak sanggup melawan dinginnya udara pagi itu. Gemetar saya terus menggila, dan saya tidak bisa berhenti menggetarkan bibir saya yang sudah mulai membiru karena darah yang hampir membeku di dalamnya. “Hati-hati, kamu kena hypotermo.” Kata Bang Ridwan Emen. Saya pun dipisahkan, lalu diberikan kompres penghangat, jaket dobel, sleeping bag, dan satu cangkir kopi pahit panas. “Forum tetap saya lanjutkan!” kata senior itu dengan lantang.

Saya mendengarkan dari jauh, sesekali mencoba untuk mengintip hanya sekadar untuk cari tahu siapa yang sedang berbicara atau menanggapi tentang topik yang akan dibahas. Topiknya: “Apa yang akan kalian lakukan jika kinerja ketua GEMASI (Gelanggang Mahasiswa Sasing) tidak memuaskan?” Apa? Tidak ada yang berani angkat bicara. Setelah beberapa kali moderator mengulang topik yang akan dibahas, saya berani mengajukan diri untuk masuk ke barisan dan kembali ke tempat duduk saya semula. Moderator mengulang topiknya sekali lagi. Lalu terdengar sungutan-sungutan berupa omongan tendensius dari senior di sekeliling kami, yang mengatakan bahwa “Katanya mahasiswa, disuruh ngeluarin pendapat aja, gak ada yang becus.” Dan saya langsung tak bisa terima. Langsung saya berdiri, memperkenalkan diri, dan menyampaikan apa yang saya rasa saya tahu.

Jangan nunduk aja, sok atuh keluarin pendapatnya.” Kata Bang Ridwan Emen kepada The Tributes yang lain setelah saya mengutarakan pendapat saya. Saya tersenyum simpul.

Setelah pertukaran pendapat antara beberapa partisipan forum, kak Eca, seorang senior, berteriak ke arah kami, “Yang tadi udah berkomentar, ikuti saya!”

Saya dan beberapa teman lain yang sudah bersedia angkat bicara mengikuti kak Eca ke lahan yang agak jauh dari arena kamp. Beberapa senior di belakang kami turut serta. Saya berdiri lalu ditanya-tanya tentang beberapa hal. GEMASI, masalah-masalah di dalamnya, dan bagaimana cara menanggulanginya. Setelah proses ‘wawancara’ panjang itu, dan setelah saya diberi tugas untuk meneriakkan kata “GEMASIAN!” dengan jawaban “ROCK N’ ROLL!” di depan teman-teman saya yang masih duduk di tengah arena kamp tadi sebanyak tiga kali, Kak Eca akhirnya membawa saya, Nia, dan Zulfikar ke depan teman-teman GEMASIANS.

“Dan inilah! Tiga kandidat ketua angkatan Sastra Inggris 2012 kita!” kata Kak Eca tiba-tiba.

Saya kaget dan terpesona dalam waktu yang sama, namun tetap tak mau mengangkat kepala. Tertahan tertunduk karena saya mau tidak mau harus ‘menerima’ amanah yang (mungkin) akan datang lagi kepada saya jika saya benar-benar terpilih. Setelah menjabat sebagai anggota Komisi 1 di BPM, menjadi pengurus di DKM, dan sekarang…sedang berdiri menanti jabatan lain, yang berat dan menaungi banyak orang: semua mahasiswa Sastra Inggris 2012. Saya tergidik, lalu menggigil. Tak tahu harus berkata dan bereaksi apa.

Setelah Kak Eca menampung tiga pertanyaan dari The Tributes yang ingin mencari tahu lebih dalam agar apa yang mereka pilih tidak salah, kami bertiga secara bergiliran mulai menjawab pertanyaan-pertanyaan itu: (1) Pengertian ketua angkatan, (2) program jangka pendek dan jangka panjang yang akan dilakukan, dan (3) apa yang membuat kalian tidak pantas menjadi ketua angkatan, dan apa yang membuat kalian pantas jadi ketua angkatan?

Saya jawab semua pertanyaan itu dengan jujur dan mantap, tetapi Insya Allah tidak berlebihan dan muluk-muluk. Saya mencoba untuk mengutarakan apa yang memang bisa saya lakukan untuk mengubah atau mengadakan perbaikan bagi kepengurusan GEMASI yang akhir-akhir ini sedang dirundung masalah: mengomunikasikan dan menjembatani apa yang menjadi masalah dan x factors yang terjadi. Lalu, mengapa kebanyakan mahasiswa tidak mau atau tidak tertarik untuk mencari tahu lebih dalam, dengan kata lain ‘peduli’, tentang GEMASI itu sendiri. Saya jawab dengan ucapan yang saya kira cukup.

Lalu, tibalah waktunya pemilihan, dan saya tentu tidak berharap banyak; Nia sudah jauh lebih optimis dan yakin untuk menjadi seorang ketua angkatan, Zulfikar pun demikian. Tapi tetap, sekali lagi, saya menekankan dalam diri ini bahwa amanah itu datang, bukan didapatkan baik secara sengaja maupun secara tidak sengaja. Ia datang, dan harus dipertanggungjawabkan. Kami bertiga disuruh berbalik badan, menutup mata, dan menutup telinga. Saat itu, saya betul-betul tidak berharap banyak, namun tetap pasrah. Tawakkal.

Dua menit…tiga menit…tujuh menit…sepuluh menit.

Saya masih menunggu dan hanya bisa melihat kegelapan samar, sesekali mendengar sedikit suara-suara kecil seperti menyahut-nyahut dan sekumpulan orang yang sedang tertawa. Lalu, tiba-tiba saya merasakan seseorang melingkarkan slayer GEMASI di leher saya. Kak Eca menyuruh saya berbalik badan

Saya masih tidak bisa bereaksi apa-apa karena terlalu kebas untuk berekspresi. Namun, setelah saya mendongak dan melemparkan pandangan ke arah Nia dan Zulfikar dengan keadaan lehernya yang tidak ada apa-apa, saya baru sadar bahwa saya telah terpilih menjadi ketua angkatan.

Saya melihat gemasians bertepuk tangan sambil tersenyum. Mereka semua tampak begitu…bahagia, yang membuat saya juga ikut bahagia melihatnya.

Ketua Angkatan.

Setelah mengucapkan sumpah bahwa saya akan berbakti pada kedua orangtua, kampus, dan masyarakat di dalamnya, setelah disuruh melakukan banana dance khas GEMASI, saya pun ditugaskan untuk mengomandokan teman-teman untuk tertib karena akan sarapan pagi. Tugas pertama saya. Begitu banyak pelajaran, nasihat, dan kritik yang membangun khususnya bagi diri saya pribadi sebelum dan sesudah saya terpilih menjadi ketua angkatan Sasing 2012. Begitu banyak figur-figur yang tak mungkin saya lupakan. Bapak. Ibu. Bang Ridwan. Teman-teman yang selalu mendukung saya kapanpun dan dimanapun. Haymitches: Lia dan Fidi. Bang Nanda, sang motivator.

Setelah saya foto bareng Kak Eca, yang ternyata Ketua Angkatan tahun 2010, dan Ketua Angkatan 2008, kami ber-empat-puluh-dua bergegas untuk bersiap-siap pulang ke Jatinangor.

***

                Selepas shalat Isya, saya menelepon Ibu. Saya tanya kabar beliau, dan mengabarkan bahwa saya telah menjadi ketua angkatan jurusan. Meneleponnya, atau setidaknya berbicara dengannya, meskipun tidak langsung, sangat membuat hati saya lega, seolah-olah ada sesuatu yang menerangi jiwa saya. Mendengar suaranya, subhanallah. Allah memang tak pernah henti-hentinya memberikan begitu banyak nikmat pada hamba-hamba-Nya. Sudah seminggu lebih saya tidak bertatap muka dengan Ibu. Amanah-amanah yang datang silih berganti membuat saya harus selalu tawakkal dan menauhidkan Zat yang memberikan tugas ini semua, Allah Azza wa Jalla.

Saya baru teringat, beberapa menit setelah saya resmi dilantik sebagai ketua angkatan, saya belum (atau tepatnya tidak) diberikan beberapa menit untuk menyampaikan pidato singkat atas terpilihnya saya untuk mengemban jabatan ini. Saya hanya ingin menegaskan kepada seluruh Gemasians, khususnya teman-teman Sasing 2012, bahwa kita semua adalah pemimpin. Teman-teman semua adalah pemimpin bagi diri kalian masing-masing. Saya hanyalah jembatan atau fasilitator bagi teman-teman agar kemudian bisa saya wakili dan pertanggungjawabkan. Semua aspirasi, pendapat, dan kritik tentu ada pada teman-teman semua. Maka, kalian adalah orang-orang yang sebenarnya bertanggungjawab atas kemajuan dan keaktifan himpunan mahasiswa kita, GEMASI. Tanpa kalian, tentu segala hal yang telah saya ucapkan saat pemilihan itu, tidak akan memiliki esensi apa-apa.

Kalian semua adalah pemimpin! Saya, Himawan Pradipta, Insya Allah, siap berpendapat, menampung, mewakili, dan mempertanggungjawabkan apa yang telah saya mulai. Mari berjuang!

Barakallah. Wassalamualaikum wr.wb..

Jatinangor, Senin, 25 Februari 2013, pukul 13:01.

Salam Mahasiswa,

Himawan Pradipta.

5 thoughts on “GATES Session 3: Moments, Words, and Promises

  1. Saya bukan mahasiswa unpad. Tapi saya sangat menyukai tulisan tulisan di blog kamu terutama tulisan satu ini. Jujur tulisan yang satu ini membuat saya menjadi lebih semangat mengejar impian saya. Bukan bermaksud berlebihan sih, tapi memang tulisan kamu hampir setingkat Billy Boen. Tetap menulis ya. Terima kasih juga. 🙂

  2. Wah, makasih kak Ayu udah mau mampir. Alhamdulillah kalo tulisan ini bisa buat kakak semangat dan termotivasi, saya masih belajar juga sebetulnya. Ya, pasti! Saya pasti akan terus menulis dan berlatih. Terus semangat dan saling mendoakan ya, kak 🙂

    1. sama-sama. Terima kasih buat mbah google yang menuntun saya menemukan blog kamu. Dulu awal awal sempet baca saat kamu keterima di unpad. Ga pernah nyangka kamu kepilih jadi ketua angkatan. 🙂
      Hmm, ga salah kamu masuk jurusan sastra, semoga tercapai ya cita-cita kamu. 🙂

      oke sipp… (y)

  3. Setelah denger cerita teman-teman dan ditambah sekarang baca postingan ini, jadi sedikit menyesal karena nggak ikut Gates 3. 😐 Sayang sekali nggak bisa main games, ngerasain sensasi dinginnya Barubeureum, dan nggak bisa lihat atau berpartisi dalam prosesi pemilihan ketua angkatan. Huhu.
    Anyway, selamat ya udah terpilih jadi ketua angkatan! I’m glad that you’re the one who’s chosen. Sukses ya, ketua angkatan masa jabatannya semumur hidup lho, sering2 bikin acara reuninan entar, haha. Congrats, Pak Ketua!

  4. Cerita di atas sebenernya masih cerita ‘sekilas’ aja. Pengalaman di lokasi pasti jauh lebih seru dari apa yang diceritakan di sini. Makasih, Ver. Minta doa biar kepemimpinan gue untuk mewakili kalian bisa jadi berkah 🙂 Insya Allah, ditampung. Anyway, makasih udah mampir ya. Hehehe.

Leave a reply to Himawan Pradipta Cancel reply