Kelompok Sosialmu = Jati Dirimu

Source: Google Image

Pada hakikatnya, manusia diciptakan berbeda-beda. Masing-masing dari mereka memiliki pendapat, jalan pikiran, bahkan ketertarikan yang berbeda satu sama lain. Si A gemar membaca buku, Si B gemar menonton film. Si A gemar bermain bola, Si B gemar bermain kasti. Tidak ada jaminan seseorang untuk tidak suka apa yang orang lain lakukan karena bentuk ketertarikan yang mereka memiliki memang tidak sama.

Cara pikir, visi, dan misi yang beragam yang dimiliki orang-orang pada akhirnya membentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kelompok-kelompok sosial yang secara tidak langsung terbentuk itu menciptakan adanya pengkotak-kotakkan antara kelompok sosial yang satu dengan kelompok sosial yang lain. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa ada beberapa pihak yang merasa “lebih unggul” dan “kurang unggul.” Sementara beberapa orang lebih tertarik untuk “bergerombol” atau berkumpul dengan orang-orang yang “seia sekata” dengannya, beberapa orang justru lebih memilih untuk “netral” atau bahkan individual. Parahnya, dengan membentuk kelompok-kelompok, gank, komunitas pribadi, atau apapun namanya, ternyata dapat membangun dan membentuk “karakter lain” yang secara sadar atau tidak telah melekat dalam diri mereka.

Satu dari berbagai bentuk kelompok sosial yang ada adalah kehidupan mahasiswa. Ia merupakan kehidupan yang menuntut untuk banyak berinteraksi. Entah itu berinteraksi dengan teman sebaya, junior, senior, bahkan dosen sekalipun. Sehingga sungguh sulit bahkan bahaya jika masih banyak mahasiswa yang belum bisa menerapkan cara berinteraksi yang baik dengan pihak-pihak tersebut. Bagi para mahasiswa yang sibuk di keorganisasian, seperti BEM, BPM, Himpunan Mahasiswa, atau Lembaga Komunitas di lingkungan kampus, tentu sudah familiar dengan rapat, forum, atau diskusi. Hampir setiap minggu, mereka “dipaksa” untuk duduk dan berpartisipasi membicarakan hal tertentu yang menjadi pokok masalah. Namanya juga rapat/forum, tentu masing-masing partisipan rapat akan memiliki pendapat yang berbeda sesuai dengan apa yang mereka tangkap. Sungguh tidak etis rasanya jika ada satu anggota rapat yang menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada anggota lain, hanya karena ada faktor tertentu atau hal-hal lain yang membuatnya merasa demikian, sehingga akhirnya membuat keadaan rapat menjadi tegang dan tidak hangat seperti yang seharusnya.

Beberapa orang, atau dalam kasus ini mahasiswa, terkadang belum bisa melihat sisi lain dari beberapa mahasiswa lain. Hal ini terjadi karena adanya pengkotak-kotakkan tadi, dimana secara tidak langsung karakter seseorang yang ia serap oleh nilai-nilai dari kelompok sosialnya akhirnya “terbawa” ketika ia sedang tidak berada di dalam kelompoknya. Akhirnya, perbedaan pendapat dan silat lidah yang tak berujung pun bisa terjadi. Tentu akan menjadi sangat ironis jika hal semacam itu sampai terjadi, padahal itu semua disebabkan kekurangmantapan mereka dalam memilah-milah ruang lingkup kelompok sosial mana yang sedang/akan mereka tempati. Misalnya, ketika seseorang yang sedang mengikuti rapat BEM, maka pemikiran-pemikiran atau kebiasaan-kebiasaan ketika mereka berkumpul dengan kelompok atau gank-nya harus dibuang jauh-jauh; mereka tidak fokus tentang apa yang sedang dibicarakan. Beberapa dari mahasiswa kurang bisa menerapkan rasa menghargai (appraisal) mereka kepada orang lain disebabkan perbedaan rasa ketertarikan, pendapat, dan jalan pikiran masing-masing. Mereka sudah seharusnya mengerti betul bahwa ruang lingkup mahasiswa terkenal dengan keberagamannya. Masing-masing dari mereka memiliki kelompok sosialnya masing-masing. Tidak etis jika mereka harus men-judge satu orang berdasarkan ketidaksukaan mereka pada satu orang tersebut terhadap hal-hal tertentu, yang padahal masalah sepele.

Maka, ada baiknya dalam sebuah forum atau rapat yang melibatkan banyak mahasiswa (dengan masing-masing memiliki pendapat yang berbeda-beda) untuk saling menghargai satu sama lain. Sekalipun kita tidak suka, atau bahkan benci terhadap orang tersebut, redamlah dalam-dalam, hindari silat lidah dan kata-kata yang memicu perselisihan. Malahan, jika kita menunjukkan ketidaksukaan kita kepada seseorang dengan bentuk bahasa tubuh, tentu itu akakn jauh lebih menyakitkan. Lebihnya lagi, kita akan dianggap sebagai orang yang egosentris dan bahkan sombong oleh orang lain karena meremehkan lawan bicara.

Dengan demikian, keberadaan seorang mahasiswa di kampus dan bagaimana dia berinteraksi baik dengan kelompok sosialnya maupun dengan kelompok sosial yang lain, sangat menentukan jalan pikiran dan pembentukan pemikiran baru ketika mereka tidak sedang berada dalam kelompoknya. Alangkah baiknya jika kita bisa secara cermat memilih kelompok sosial untuk sekadar nongkrong bareng atau belajar bareng karena secara tidak sadar teman-teman itulah yang akan mempengaruhi kita dalam jangka waktu yang lama. Jika rasa tidak suka atau benci muncul terhadap satu individu di kelompok sosial yang lain, jangan langsung semata-mata menyalahkan mereka, lihat kembali ke diri ini, apakah kelompok sosial saya membuat saya menjadi pribadi yang lebih baik, aktif, dan interaktif, atau justru malah membuang-buang waktu, sia-sia, dan tidak ada gunanya? Hanya sekadar have fun dan pelampiasan rasa jenuh semata? Pikir seribu kali sebelum membenci orang lain.

Lagi pula, tidak ada salahnya untuk berteman dengan siapa saja, bukan? Terlepas dari perbedaan karakter, ketertarikan, dan pendapat dari masing-masing orang atau kelompok sosial yang ada? Anda yang memilih. Anda yang menentukan. Berbahagialah menjadi mahasiswa! Berbahagialah memiliki kebebasan untuk memilih!

Salam.