Subkultur Geng Motor di Jatrinangor

“Saat subkultur membuat definisi dunia mereka sendiri, maka konfliklah hasil akhirnya.” – Dick Hebdige dalam Subculture: The Meaning of Style

Kemarin, tepatnya tanggal 25 November 2015, di media sosial, seorang teman membagikan sebuah postingan tentang anjuran berhati-hati berada di sekitar kawasan kampus Unpad Jatinangor. Awalnya saya tak peduli karena percaya bahwa berita itu ujung-ujungnya hanya hoax. Tak lama kemudian, beberapa teman dekat juga ikut-ikutan mem-broadcast pesan itu. Seketika, sore itu pun berubah menjadi teror. Semua timeline di media sosial menampilkan postingan yang sama: HATI-HATI JATI-RANGERS! atau SIAGA NANGOR! Saya pun iseng bertanya dalam hati. Memangnya ada apa? Kenapa harus sebegitu hati-hatinya? Apa Unpad sedang kedatangan teman-teman Melodi, si personil JKT 48, mahasiswi yang katanya kuliah di FAPERTA UNPAD, yang saya gandrungi waktu masih jadi maba itu? Sampe-sampe harus hati-hati biar iman gak roboh?

Ternyata bukan.

Memang hampir setahun yang lalu, ada desas-desus bahwa kampus Jatinangor sedang tidak aman. Sejumlah kasus kejahatan dan asusila merembet, dari jambret, silet, begal, bacok, sampai pembunuhan dan pembuangan mayat di Jembatan Cincin. (Hingga membuat Jembatan Cincin dianggap begitu angker, padahal biasa saja).

Kabar terbaru, ada mahasiswa yang “digorok” oleh entah siapa di daerah yang bahkan cukup ramai. Sampai pada akhirnya rektorat mengeluarkan beberapa wacana: menutup gerbang yang menghubungkan kampus dan rumah warga, menambah sentinel, memasang kamera pengintai di sudut-sudut jalan, mengatur jadwal sif petugas keamanan, dan melarang mahasiswa mengadakan acara di  kampus saat akhir pekan. Yah, sebagian sudah terlaksana, dan sebagian lagi tak berjalan ke mana-mana.

Dari postingan mahasiswa tadi, diceritakan bahwa ia secara langsung mendengar perempuan teriak “jambret” dan melihat dua motor yang pengendaranya tampil urakan lalu kabur begitu saja. Kasus lain juga terdengar bahwa ada seorang pengendara motor yang sedang menepi sebentar untuk entah membalas sms atau menjawab teleponnya. Tapi, tak lama kemudian, ia ditodong dengan “beceng” (senjata api) oleh orang tak dikenal, yang juga tampil urakan. Semua kasus di atas terjadi saat malam hari, kurang lebih pukul 23.00 ke atas. Dan sempat “terdengar gerungan motor besar dalam jumlah yang banyak” pada jam tersebut.

Dugaan paling kuat terkait pelaku kasus-kasus ini adalah komplotan geng motor. Dalam tulisan lain, saya sempat mengangkat isu pro-kontra terkait geng motor. Di satu sisi, mereka membahayakan banyak pihak. Di sisi lain, mereka menjadi “pembawa kedamaian.” Saat menulis itu, saya sendiri kaget mendapati fakta bahwa ternyata tak semua geng motor berorientasi pada kekerasan, anarki, atau tindakan asusila. Justru, beberapa geng motor di kawasan Bandung terbentuk untuk membantu orang-orang lansia. Namun, melihat kasus-kasus yang saya sebutkan tadi, memang saya pun tak bisa mangkir bahwa geng motor tak lagi seramah” yang saya kira.

Dalam bukunya, Subculture: The Meaning of Style, Dick Hebdige berbicara tentang kelompok sosial tertentu dalam masyarakat yang “menyimpang dari kebudayaan yang dikonstruk masyarakat tertentu dan disepakati bersama.” Satu di antara contohnya adalah kaum punk di Inggris. Ia berpendapat bahwa kaum punk ada karena mereka ingin “menerabas batas-batas yang mengekang dirinya”, entah itu faktor bawaan, minimnya pengawasan orang tua, pergaulan, atau pengaruh media sosial. Tambahnya lagi, dalam beberapa kasus ekstrem, ada sebagian kaum punk yang orientasinya adalah “menegosiasikan ideologi-ideologi yang digembar-gemborkan pemerintah.” Maksudnya, mereka hendak menarik ulur gagasan-gagasan tertentu terhadap aturan dan sistem yang dianggap menjadi patok (“touchstone”).

Dari Inggris, kita terbang lagi ke Jatinangor. Sebuah pertanyaan pun berkelebat: mengapa Jatinangor? Mengapa saya justru jarang mendengar adanya kabar serupa di Bandung? Atau saya saja yang kudet? Yah, entahlah. Tapi, kalaupun memang ada kabar serupa yang melibatkan mahasiswa sebagai korbannya di daerah Bandung, Jatinangor pasti sudah ramai, mengingat kedua daerah itu sudah seperti kakak-adik. Apa karena Jatinangor berada di perbatasan kedua daerah: Bandung dan Sumedang? Dan daerah yang perbatasan-perbatasan itu dianggap less civilized atau kurang “ngota”? Tapi, bukannya Jatinangor kota pendidikan, meski predikat itu belum seterkenal Jogja.

Nah, sepertinya dari titik inilah subkultur bisa bebas keluar-masuk kawasan ini. Bisa dibilang, fakta bahwa daerah Jatinangor itu sendiri masih menarik ulur statusnya antara area “kurang kota” dan area pendidikan, menjadi sasaran tersendiri bagi geng motor. Sementara di Bandung, bergabung dengan geng motor justru menjadi gengsi tersendiri bagi orang “kota”. Motor mahal (tak hanya besar), jaket kulit mentereng, dan kacamata hitam seksi menjadi “touchstone” tadi untuk menaikkan harga diri anggotanya.

Dengan begitu, saya bukannya tidak suka dengan mereka yang bergabung dalam subkultur tertentu. Kaum punk, geng motor, komunitas gay, atau “kaum-kaum” lainnya, memiliki agenda politiknya, orientasi, dan keberpihakannya masing-masing, sama saja seperti mereka yang masuk (atau dimasukkan) dalam kaum nonsubkultural.

Yang menjadi berbahaya dan mengerikan, adalah ketika, seperti yang saya kutip di awal tulisan ini, kaum-kaum itu membuat definisi dunia mereka sendiri, menjunjung idealisme kelompok, menganggap benar diri, dan menolak berdialog. Kalau sudah begitu, ya mau tak mau, kekacauanlah yang akan didapat.

Seperti akhir postingan mahasiswa di media sosial itu, tulisan ini juga mengingatkan bahwa tidak ada yang lebih menyelamatkan dibandingkan bersikap waspada terhadap apapun. (Termasuk terhadap Melodi JKT 48!) Salam.

 

Rujukan

Dick Hebdige. 1999. “The Function of Subculture”. Subculture: The Meaning of Style. New York: Routledge.

https://kitabgaul.com/word/beceng

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/radipt/subkultur-geng-motor-di-jatinangor_56569f32187b613705c7c103

Leave a comment