Bedah Film: “Last Summer”

Film Thailand belakangan ini terkenal dengan film-film yang menyajikan tema cinta atau yang berbau “manis-manis.” Entah itu hubungannya dengan cowok-cewek remaja, ibu-anak, ayah-anak, bapak-ibu, atau bahkan kakek-nenek. Terakhir, animo film Thailand memuncak saat film A Crazy Little Thing Called Love dirilis, dengan “menyuguhkan” wajah rupawan si aktor utamanya, Mario Maurer. Cerita tentang seorang gadis “pecundang”  yang muluk-muluk jatuh cinta pada cowok idamannya di sekolah, ternyata membuat film Thailand semakin digandrungi bagi banyak kalangan. Tidak hanya itu, aksen manis (yang terkadang juga mengganggu!) khas Thailand menjadi nilai lebih di dunia perfilman di Asia, membuatnya justru menjadi unik.

Ngomong-ngomong, belakangan saya pun sedang menggandrungi film-film dari Negeri Gajah Putih ini. Berbagai genre film pun saya lahap habis dalam sekali tonton. In a row! Saking sukanya, saya bahkan sampe mempelajari grammar dan nada-nada dalam pengucapannya. Yang saya kurang suka dari film Thailand adalah terkadang genre yang seharusnya dibawa pada satu film itu sering melampaui batas. Maksudnya, dalam film Seven Something, misalnya, yang kemungkinan juga teman-teman tahu, salah satu bagian di filmnya seharusnya mengarus ke arah genre komedi, tapi terkadang ada unsur-unsur yang agak dibuat “maksa” dan cenderung jatuhnya jadi gak jelas alurnya. Bahkan terkadang, ada beberapa elemen yang kalau dihapus pun itu gak akan berdampak apa-apa sama alur filmnya ke depan. Meskipun begitu, cerita-cerita yang ditawarkan film Thailand sangat segar! Mereka mengangkat kisah keseharian, cinta yang gak melulu awalnya-berantem-akhirnya-jadian kayak di FTV atau film komersil Indonesia. That’s it!

Dari situlah, saya yakin untuk menonton satu persembahan terbaik Thailand, Last Summer. Saya agak kaget juga karena belakangan, film-film yang romantis-romantis dan hanya menjual wajah tampan/cantik, seperti Teenage Love, atau Seven Something, lah yang mendominasi industri perfilman di sana. Meskipun begitu, film ber-genre horor yang dirilis bulan Juni 2013 ini sukses membawa keunikannya tersendiri; tidak ada pretensi untuk semata-mata mengambil atau membuat timpang keseluruhan ceritanya. Film yang dibintangi Jirayu La-ongmanee dan Suttata Udomsilp ini, meskipun belum bisa dibilang total, mampu meruapkan kembali emosi dan (ini agak klise) menjadi semacam obat penawar akan rindu untuk menonton film horor Thailand lagi. Hihihi.

Poster "Last Summer"
Poster “Last Summer”

SINOPSIS

Ceritanya berkisah tentang empat orang anak muda, Singh (Jirayu), Meen (Suttata), Garn, dan Joy. Mereka bersahabat. Suatu hari, mereka berlibur ke sebuah pantai untuk melepaskan penat dari segala macam dunia sekolah yang mendera. Mereka bersenang-senang dan lupa waktu, minum-minuman dan menari sepanjang hari.

In the Beach
Di Pantai

Hingga pada suatu malam, Joy, yang terlalu banyak minum, akhirnya sempoyongan. Dibopong oleh Singh ke kamarnya untuk istirahat, Joy sudah tak bisa sadarkan diri. Saat Joy sudah terbaring, tiba-tiba tubuhnya gemetaran dan darah membuncah keluar dari mulutnya, yang membuatnya mati seketika. Tiga sahabatnya pun bergegas dan panik bukan main. Mereka bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya, mereka memutuskan untuk membuang mayat Joy di laut.

Rasa bersalah yang luar biasa pun terus menghantui mereka dalam perjalanan. Di luar dugaan mereka, mayat Joy akhirnya menemui mereka lagi, seolah-olah bayangan kematian Joy tak bisa lesap dari gerak-gerik mereka. Ketiga sahabatnya pun merasa selalu diikuti oleh arwah Joy yang seolah-olah belum ingin “pergi” meninggalkan mereka. Seperti ada sesuatu yang rasanya belum terkuak atau terucap dari bibir Joy, yang membuat orang-orang tersayang di sekitarnya menjadi korban pelampiasan amarahnya. Satu persatu sahabatnya akhirnya meninggal tidak hanya karena ulah arwah Joy tapi juga karena ulah “kecerobohan” mereka sendiri.

ALUR

Dipandang dari alurnya, film ini, bisa dibilang, berjalan cepat. Dengan alur yang “lompat-lompat” (dari kini ke masa lalu, langsung ke masa depan, dan kembali ke kini lagi) membuat film ini tidak bisa ditonton sekali. Untuk mendapatkan konsep intinya, setidaknya film ini harus ditonton dua kali. Saya juga, tak terduganya, menemukan kesinambungan antara film ini dengan film lain, seperti Modus Anomali (Rio Dewanto, 2012), Triangle (Melissa George, 2009), dan The Haunting in Connecticut (Virginia Madsen, 2009). Adegan Singh yang merobek leher Garn ketika sedang panik karena “dibisiki” suara-suara gaib di tengah-tengah padang rumput, selaras dengan adegan John (Rio) yang menebas kepala anaknya sendiri di hutan. Begitu pula dengan adegan Meen yang mengalami proses “pengulangan kembali” ketika sedang takut dihantui oleh arwah Joy di tangga sekolahnya, selaras dengan adegan di film Triangle yang merupakan struktur utama sebagai strategi narasi filmnya. Terakhir, adegan ketika ibu Joy mendapati selimut di atas kasurnya “digerayangi” oleh arwah Joy, membungkus tubuhnya dan berhadapan langsung dengan ibunnya, sama dengan adegan dalam film The Haunting in Connecticut.

FILM PSIKOLOGIS

Secara garis besar, saya lebih suka mengategorikan film ini ke dalam film psikologis, dibandingkan ke dalam film horor. Dan menurut saya hal ini jadi agak kontroversial karena pendobrakan batasan-batasan tertentu dalam aspek psikologis seorang remaja. Menonton film ini seperti menyaksikan sekelompok remaja yang betul-betul dihantui rasa takut karena arwah Joy yang terus gentayangan. Semua itu dimulai dari rasa bersalah dan pikiran mereka akan “hantu-hantuan” yang tak keruan, yang karenanya membuat Singh berubah menjadi agak psikopat. Selain itu, Meen, sebagai sahabat Joy, tentu merasakan penderitaan dan kesedihan yang  panjang. Ia menjadi tertutup, agak pendiam, dan agresif kepada teman-temannya di sekolah, yang klimaksnya berujung pada kematiannya dengan lompat dari gedung sekolah. Begitu pula dengan Garn, yang, meskipun perannya minim dalam film ini, mengalami kejanggalan-kejanggalan yang dialami remaja pada umumnya; perubahan yang insignifikan. Contohnya, sifatnya yang cenderung untuk takut berhadapan dengan orang banyak dan karenanya lebih dari ragu-ragu untuk melangkah “maju.”

Singh
Singh

Ketiga karakter tersebut mati secara tragis dalam kondisi yang berbeda-beda. Ada yang membakar dirinya, dirobek lehernya, dan lompat dari gedung sekolah. Meskipun begitu, ketika saya membaca sinopsis cerita ini di cover dvd-nya, ini menjadi aneh. Di penjelasannya, arwah Joy hanya menghantui orang-orang tersayangnya, yaitu “kekasihnya”, “sahabatnya”, dan “abangnya.” Teror si arwah Joy tentu bisa menjadi positif kalau begitu. Entah dalam perspektif bagaimana. Juga, digambarkan bahwa arwah Joy melakukan itu karena ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepada mereka. Semuanya terjawab pada bagian akhir film. Di mana semua kejadian-kejadian berupa segmen yang terpecah disatukan kembali dalam beberapa menit terakhir. Saya tidak akan mengupas ending-nya (karena bakalan spoiler! hehe), tapi semuanya menjadi gamblang. Maka dari itu, kalau teman-teman ingin meraih konsep inti film ini, tonton lebih dari satu kali!

Meen
Meen

PEMAIN

Akting Jirayu dan Suttata (seperti yang sudah pernah teman-teman saksikan dalam cerita “14” di film Seven Something) mengalami perkembangan yang signifikan. Jika sebelumnya saya melihat mereka berdua akting yang menye-menye dan banyak melontarkan canda dan senyum, di film ini, tentunya, mereka harus memasang wajah serius, takut, dan cemas yang luar biasa. Bagi pendatang baru, hal ini tidak mudah; dibutuhkan proses yang panjang untuk bermain dalam film yang genre-nya banting setir: Romantis ke Horor. Tapi, luar biasanya, kedua bintang muda ini mampu mengalirkan emosi mereka melalui mimik muka, gestur, atau cara mereka berteriak di beberapa adegan di film ini.

Kedua peran lainnya (yang saya lupa nama pemainnya), Garn dan Joy, cukup menjadi pemanis dalam jalan ceritanya secara keseluruhan. Karakter mereka tidak terlalu penting, tapi sekaligus juga penting. Tanpanya, keberlangsungan cerita tidak akan berjalan mulus/relevan satu sama lainnya. Begitu juga dengan karakter ibu dan kakaknya Joy. Penempatan karakter yang diletakkan di bagian tengah-ke-akhir film cukup membuat krisis. Klimaks yang dibentuk seolah-olah terus memuncak hingga sebelum akhir film. Ini memang tidak mengherankan karena biasanya pada film horor, hantunya selalu keluar di bagian akhir (ending).

Situs laman online bedah film yang biasa saya ikuti, IMDB, belum memberikan rating untuk film ini. Namun saya memberikan nilai 7.0 untuk film ini. Pemandangan yang  memanjakan mata pada awal cerita (adegan di pantai khususnya) memberikan kesan vintage yang mempesona. Tidak hanya itu, penyetelan kamera yang tidak dibuat shaky ‘goyang-goyang’ membuat film ini lebih menarik dan gampang diikuti. Bahkan, beberapa sudut kamera yang cenderung “diam” justru menambah kesan misterius (belum termasuk mimik wajah para pemainnya yang begitu “mencekam”). Untuk adegan “kesurupan” si Joy saja, penonton bisa mengikuti dan mengetahui persis apa yang sedang terjadi; tidak seperti film-film horor sebelumnya atau yang lainnya, adegan yang dianggap klimaks atau heboh seolah-olah harus dibuat se”meriah” mungkin, yang justru membuat penonton sakit mata dan agak pusing. Film ini pengecualiannya.

Sekian ulasan film Thailand yang satu ini. Semoga kita tetap menikmati khasnya film horor Asia, khususnya Thailand, dan berbagai kejutan-kejutan di dalamnya.

Terakhir, ini trailer film Last Summer:

Selamat berlibur!
Salam, Himawan. 🙂

4 thoughts on “Bedah Film: “Last Summer”

  1. as always, film horror thailand plot ceritanya twisting banget 🙂 what a nice review, thanks ya 🙂

  2. Bener bgt ga cukup nonton sekali ini film (-.-)a nonton pertama agak bingung, yg ke 2 baru paham /plak
    Walaupun gak serem, agak kecewa sbnrnya tp lumayan filmnya 🙂

Leave a reply to Min Cancel reply